Ustaz Muhammad Syafi’ie el-Bantanie
Direktur Dompet Dhuafa Pendidikan,
Founder Ekselensia Tahfizh School
Sebakda perang Hunain yang pada akhirnya dimenangkan oleh kaum muslimin dengan pertolongan Allah, muslimin memperoleh ghanimah melimpah. Semisal, 25.000 ekor unta, 40.000 ekor kambing, dan 40.000 uqiyah uang perak (dirham). Lalu, ghanimah itu dikumpulkan dan diserahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibagikan kepada muslimin.
Apa yang terjadi? Pada sepenggal kisah sebakda Hunain ini, kita disajikan pembelajaran yang jelita, yakni jika hati para pengusung peradaban masih tersangkut oleh kemilau harta dunia, maka mesti segera dibersihkan dari pesona kemilau harta dunia. Ini bukan berarti mengabaikan dunia, tidak sama sekali. Melainkan, menanggalkan dunia dari relung hatinya meski dunia dalam genggamannya. Dan, cukuplah Allah dan Rasul-Nya yang menghiasi hati mereka.
Mari kita belajar dari kaum Anshar yang sempat terkhilaf, dan ini manusiawi. Namun, cepat sekali tersadar dengan panggilan iman. Lalu, rela menanggalkan dunia meski dalam genggamannya. Dan, mencukupkan diri mereka dengan keridhaan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tercinta. Dan, ini benar-benar tidak ternilai.
Ketika ghanimah telah terkumpul, Rasulullah membagikan ghanimah kepada pasukan Hawazin dan Tsaqif yang tertawan dan mau masuk Islam dalam jumlah yang besar. Bahkan, Malik bin Auf, pemimpin pasukan Hawazin dan Tsaqif, diberikan 100 ekor unta sebagai hadiah keislamannya. Jika harga unta perang senilai 100 juta rupiah per ekor, silakan hitung sendiri berapa hadiah yang diberikan Rasulullah kepada Malik bin Auf.
Kemudian, muslimin yang baru masuk Islam pada Fathul Makkah sekira dua ribu orang. Mereka inilah yang lebih dulu lari dari medan Hunain saat pasukan muslimin terdesak. Mereka pun mendapat bagian yang besar setelah para muallaf Hawazin dan Tsaqif. Sementara, sahabat-sahabat senior Muhajirin dan Anshar sama sekali tidak mendapat bagian apa-apa. Di sinilah perasaan manusiawi muncul, terutama di kalangan sahabat Anshar.
Mulai satu, dua, tiga orang membicarakan mekanisme pembagian ghanimah yang dilakukan Rasulullah. Kian hari kian bertambah sahabat Anshar yang membicarakan kebijakan Rasulullah dalam pembagian ghanimah Hunain. Sampai-sampai kalimat yang kurang pantas pun sempat terucap, “Tuh kan, Rasulullah lupa dengan kita yang dulu menolongnya. Ketika sudah berjaya, Rasulullah kembali kepada sukunya, Quraisy.”
Kaum Anshar Menangis Sejadi-jadinya
Akhirnya, pembicaraan ini pun sampai ke telinga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu, beliau mengumpulkan kaum Anshar dan mengajak dialog. Dialog yang sangat menyentuh yang membuat kaum Anshar menangis sejadi-jadinya. Ini karena kaum Anshar sejatinya orang-orang beriman. Sehingga, mudah sekali diingatkan dengan panggilan iman.
“Aku sudah mendengar keluh kesah kalian tentang ghanimah Hunain,” ujar Rasulullah memulai dialog.
“Wahai kaum Anshar sahabat-sahabatku, bukankah dulu aku mendapati kalian dalam keadaan tersesat, kemudian Allah memberikan petunjuk-Nya kepada kalian. Bukankah dulu kalian kekurangan, lalu Allah mencukupi kalian. Bukankah dulu kalian berpecah-belah, kemudian Allah menyatukan hati-hati kalian?”
Semua sahabat Anshar terdiam, terbisu. Tiada yang menjawab apalagi menyanggah perkataan Rasulullah. “Mengapa tidak ada di antara kalian yang menjawab atau menyanggah pernyataanku?” ujar Rasulullah.
“Dengan apa kami menjawabnya, ya Rasulallah. Semua kemuliaan milik Allah dan Rasul-Nya,” jawab sahabat Anshar serempak.
“Demi Allah, sekiranya kalian menjawab apa adanya, maka apa yang kalian katakan itu benar. Kalian bisa menjawab begini, ‘Ya Rasulallah, bukankah dulu kau didustakan, dan kami yang membenarkanmu. Bukankah dulu kau terhina, kami yang menolongmu.’ Sahabat-sahabat Anshar mulai menangis.
Mereka berseru, “Cukup ya Rasulallah, demi Allah, pernyataanmu (yang pertama) itulah yang benar.”
Namun, Rasulullah tetap melanjutkan. “Bukankah dulu kau, ya Rasulullah, terusir, kami yang memberikan tempat tinggal kepadamu. Bukankah dulu kau kekurangan, kami yang memberikan kecukupan kepadamu.”
“Tidak seperti itu, ya Rasulallah,” ujar sahabat Anshar dengan tangis yang makin deras.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mulai menangis. “Apakah kalian marah kepadaku hanya gara-gara urusan dunia yang sepele itu? Aku memberikan ghanimah kepada mereka agar kuat keislaman mereka. Sedangkan, kalian adalah sahabat-sahabatku. Keislaman kalian telah teguh dan iman kalian telah kokoh.
“Apakah kalian tidak ridha mereka pulang membawa unta, kambing, dan dirham, sedangkan kalian pulang membawa keridhaan dari Rasulullah?”
Para sahabat Anshar tersentak hatinya dengan kalimat Rasulullah ini. Dalam gumam berbalut tangis mereka berujar, “Kami ridha ya Rasulallah, kami ridha ya Rasulallah. Cukup bagi kami keridhaan darimu ya Rasulallah.”
“Demi Allah yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, andai bukan karena hijrah, maka aku pasti termasuk kaum Anshar. Jika Anshar menempuh satu jalan dan oranglain menempuh jalan yang berbeda, maka aku pasti mengikuti jalan yang ditempuh Anshar. Ya Allah, rahmati kaum Anshar, rahmati anak-anak kaum Anshar, rahmati anak cucu keturunan kaum Anshar,” Rasulullah menutup sabdanya.
Sahabat-sahabat Anshar yang sedari tadi tak kuasa membendung tangisannya, semakin menjadi-jadi tangisnya. Dada mereka sesak dan bergemuruh. Mereka menyesali dirinya sendiri, mengapa sampai hati mereka menyusahkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu persatu sahabat Anshar meminta maaf kepada Rasulullah.
Dan, sudah pasti Rasulullah yang memang tak pernah merasa tersakiti memaafkan sahabat-sahabatnya. Ini jelas tercermin pada sabdanya yang ditutup dengan doa untuk kaum Anshar dan anak keturunannya.
Sebuah pemandangan yang bening dan jelita. Demonstrasi keimanan dan ukhuwah. Pemandangan yang barangkali hanya ditemukan dalam khazanah Sejarah Peradaban Islam.
Pertanyaannya adalah apakah kita layak termasuk dalam barisan para pengusung peradaban? Apakah hati kita telah terbebas dari kemilau dunia yang melenakkan?